Foto: Sebuah upacara yang digelar di kawasan Watu Pinawetengan 3 Januari 2015 oleh sejumlah komunitas adat Minahasa yang dikoordinir Komunitas Waraney Wuaya. (foto: eka egeten)
Dari Ritual "Mahelur" Hingga Kebiasan Anak Muda Mencari Bunga
Ziarah Setiap 3 Januari di Watu Pinawetengan
Laporan: Rikson Karundeng
Kawasan sekitar Watu Pinawetengan yang berada di desa Pinabetengan Kecamatan Tompaso Minahasa, tampak ramai, Sabtu (3/1). Ribuan pengunjung memadati komples situs sejarah budaya yang diyakini tou (orang) Minahasa memiliki makna yang dalam bagi eksistensi tou dan tanah adat Minahasa. Setiap tanggal 3 Januari, suasana tersebut memang menjadi pemandangan yang bisa dinikmati para pengunjung.
“Sejak saya kecil, tradisi ini memang sudah ada. Biasanya, orang-orang Kawangkoan, Tompaso, Langowan dan dari berbagai penjuru Minahasa lainnya, mendatangi Watu Pinawetengan setiap 3 Januari. Ada Tonaas dan komunitasnya yang ‘ba ator’ di watu tapi ada juga yang melaksanakan berbagai bentuk hiburan di sekitar watu. Tradisi ini memang mengandung makna ziarah,” ungkap Denni Pinontoan, yang mengaku lahir pada tahun 1976.
“Biasanya, dari Pinawetengan kami berjalan hingga ke Watu Putih atau Watu Toar-Lumimuut yang ada di Bukit Kasih sekarang dan kembali berbalik. Saat itu anak-anak muda banyak juga yang memetik bunga di sana untuk dibawah pulang. Itu salah satu tanda kami telah berkunjung ke daerah Tonderukan”.
Fredy Wowor, seorang budayawan Minahasa menuturkan, Watu Pinawetengan memang menyimpan nilai historis dan filosofis bagi tou Minahasa karena itu tak bisa lepas dari tou Minahasa. Menurutnya, kata ‘Pinawetengan’ berarti ‘tempat dimana dahulu telah dilakukan pertemuan untuk berbagi pendapat (musyawarah) tentang masa depan dari seluruh keturunan Toar dan Lumimuut (leluhur tou Minahasa).
“Watu im Pinawetengan berarti batu tempat pembagian. Penamaan ini terkait dengan adanya musyawarah untuk membagi daerah untuk masing-masing keturunan Toar dan Lumimuut. Atau Watu Pinawetengan I Nuwu, berarti batu tempat berbagi pendapat (pembicaraan). Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan akan selalu terjadinya perselisihan dan perang saudara,” papar Wowor.
“Disebut juga Watu Pakaeruran U Nuwu, berarti batu tempat memusyawarahkan pembicaraan tentang persatuan dan perdamaian serta perang melawan penjajah. Dan disebut juga Watu Rerumeran Ne Empung, berarti batu tempat kedudukan dari para opo. Makanya situs ini selalu dikunjungi juga dalam rangka mengingat berbagai makna yang tersimpan di situ,” papar akademisi yang juga pegiat Mawale Cultural Center (Mawale Movement) ini.
Hal lebih jauh diungkapkan Rinto Taroreh, seorang budayawan yang juga dikenal sebagai seorang Tonaas (parapsikolog). Menurutnya, kebiasaan masyarakat setiap 3 Januari tersebut sangat berhubungan dengan dua tradisi. “Ini sebenarnya terkait erat dengan ritual mahelur (‘babuju’). Tradisi masyarakat Minahasa untuk bagaimana berdamai dengan Tuhan dan alam agar hasil panen di tahun tersebut tidak rusak, berkat mengalir baik,” jelasnya.
Hal lain yang menurut Taroreh ikut mempengaruhi kebiasaan itu adalah tradisi para muda-mudi untuk mencari bunga di kawasan Kakeretan atau Tonderukan, sebuah pegunungan di sekitar Watu Pinawetengan. “Jadi ada kebiasaan anak-anak muda mencari bunga warna-warni untuk dipakai dalam hari-hari besar sebagai hiasan. Bunga itu dipilih karena menarik dan tahan,” tambahnya.
Ia juga mengungkapkan, sebenarnya tradisi berkunjung setiap tanggal itu belum terlalu lama. “Menurut cerita orang tua, kebiasaan seperti sekarang baru mulai tampak sekitar tahun 1970-an, ketika jalan ke Watu Pinawetengan sudah bagus. Tapi kalau kebiasaan masyarakat Minahasa berziarah ke sana sudah jauh lebih lama dari itu. Masyarakat Tinoor misalnya, mereka punya banyak foto ketika mereka berziarah ke Watu Pinawetangan pada tahun 1920-an dan 1930-an,” terangnya. (***)