
Foto: Ziarah Kultura awal tahun komunitas budaya Minahasa. (foto: hendra mokorowu)
"Lumales" Dari Waruga Ramberwenas Hingga Watu Siouw Kurur
Yang Tertinggal Dari Ziarah Kultura Awal Tahun
Catatan : Hendra Mokorowu (Pegiat Budaya di Mawale Cultural Center, Penggerak Pemuda Adat Tonsawang)
Ratusan tou (orang) Minahasa bergegas untuk berziarah ke situs sejarah budaya Minahasa. Para budayawan, mahasiswa, pemerhati sejarah-budaya, pegiat budaya dari berbagai komunitas di Minahasa menyatu. Komunitas Waraney Wuaya, Tou Tumondey, Makatana Minahasa, Minaesaan Tombulu Sulut Bitung, Wale 11 Unsrat, Komunitas Mawale Movement dan sejumlah masyarakat Kota Bitung, menderap langkah dalam arak-arakan. “Lumales”, 9 Januari 2015. Lumales dilakukan mulai dari waruga di Wanua Kawangkoan Kalawat hingga berakhir di Batu Siow Kurur Wanua Manembonembo Bitung.
Lumales berasal dari bahasa tua Minahasa, lumas, berarti “ikut”. Kegiatan ini biasa digelar sejak dulu di Minahasa, yang dimaknai sebagai cara menelusuri jejak yang ditinggalkan oleh para leluhur, mengikuti tatacara hidup yang orang tua tinggalkan untuk anak-cucunya (kanaraman).
Sebelum ke pokok ziarah, rombongan tou Minahasa berziarah di waruga-waruga Wanua Kawangkoan Kalawat. Aksi ini sebagai wujud protes terhadap pembongkaran waruga yang dilakukan kembali oleh orang-orang tak bertanggungjawab beberapa waktu lalu. Sebelumnya, waruga ini pernah dibongkar dan dijarah. Beberapa bulan yang lalu, waruga tersebut diatur dan diperbaiki oleh komunitas Waraney Wuaya.
Peristiwa itu terjadi lagi. Kali ini, waruga Ramberwenas jadi sasaran. Sabtu (9/1) ketika rombongan ziarah kultura tiba di lokasi, kondisi waruga sangat memprihatinkan. Tutup waruga dan badan waruga terpisah. Bagian dalam waruga sudah dipenuhi air berlumpur.
Rinto Taroreh, Parapsikolog Minahasa mengatakan, lokasi waruga tepatnya berada di Kampung Tua Kinangkoan. “Lumales itu adalah semacam ziarah, yaitu datang ke tempat-tampat orang tua. Datang ke waruga juga termasuk Lumales,” kata Taroreh.
Penggerak Komunitas Waraney Wuaya ini juga menuturkan, sebelumnya waruga tersebut pernah diatur. “Waruga itu torang so pernah seator, kurang da se bekeng ulang lantaran orang da bongkar,” ungkapnya.
Pusat Lumales sebenarnya berada di Bitung, hanya saja karena ada petunjuk dari ‘orang-orang tua’ kemudian arak-arakan ini datang ke waruga ini dahulu untuk memperbaiki dan menata ulang waruga tersebut.
Perjalanan ke Bitung kembali dilanjutkan. Titik sasar yang menjadi tujuan adalah tempat persinggahan Opo Siouw Kurur. Sebenarnya situs Batu Siouw Kurur ada beberapa di tanah Minahasa. Kira-kira lebih dari lima situs, biasanya berada di bukit-bukit. Untuk daerah Bitung barangkali hanya berada di Manembonembo. Batu Siouw Kurur itu misalnya ada di Tomohon, Warembungan, Manembonembo, dan di beberapa tempat lainnya yang masing-masing penandanya berciri khas berbeda.
Siouw Kurur hidup di jauh sebelum zaman waruga. Siouw Kurur artinya “sembilan buku” yang pengertiannya adalah kekuatannya melebihi kekuatan manusia biasa. Jadi ritual yang dilakukan di Batu Siouw Kurur adalah ritual “Maweteng”. Di Watu Siouw Kurur ini, digelar ritual Maweteng. “Sebuah ucapan syukur kepada Empung Wailan Wangk dengan persembahan. Ini juga sebagai tanda penghormatan kepada leluhur,” ungkap Taroreh yang juga praktisi seni Kawasaran.
Budayawan Fredy Wowor menjelaskan, pesan pokok yang disampaikan oleh orang tua adalah kebulatan hati yang dalam pengertiannya; jika kita memiliki hati yang utuh, maka kita bisa mencapai tujuan hidup. Jadi itu merupakan dasar utama. “Untuk mencapai tujuan ini, manusia harus berjalan di jalan yang lurus. Kelurusan jalan itu ditentukan oleh jelas tidaknya tujuan hidup. Dalam menjalani jalan yang lurus itu, diumpamakan sebagai kita mencoba mencapai tujuan, sama halnya seperti naik gunung tapi sifatnya garis lurus,” papar akademisi Unsrat ini.
Dalam prakteknya, sebagai dinamika hidup seperti naik tangga, ada level pertama, level brikut, terus menerus hingga tangga teratas. Puncak yang dicapai setiap manusia, telah ditentukan berdasarkan talenta, itulah yang disebut raney. Jadi setiap manusia sudah diberikan karunia masing-masing, sudah diberikan talenta masing-masing. Talenta itu sebagai identifikasi untuk menuju ke tujuan. Maka dari itu ada ungkapan mengatakan“kalu torang kenal sapa torang, maka torang tau akan jadi sapa torang”.
“Jadi dalam sikap dan proses itu yang menjadi modal kita adalah otak, hati dan kekuatan pikiran (keteketeran). Kebulatan dan keutuhan diri kita adalah gabungan dari semua itu. Melalui konsep itu kita akan mencapai yang terbaik dari terabaik, karena di dalam diri kita ada kualitas yang terbaik. Itu yang diingatkan oleh leluhur kepada kita,” tandas Wowor.
Ketika kita mencapai kualitas terbaik dari terbaik, kita telah menjadi waraney yang sesungguhnya. Itulah pokok yang utama. Karena waraney itu adalah raney yang bersatu dengan diri kita. Waraney itu ialah orang yang tahu harga dirinya. “Jadi yang juga mau diingatkan baru-baru ini adalah tentang harga diri. Kita adalah makaasar. Maksudnya kita bersatu dengan tanah ini, maka kita harus menjaga tanah ini, caranya dengan menunjukan teladan hidup,” terangnya.
Apabila teladan hidup mampu kita tunjukan maka tidak ada masalah dengan orang-orang yang misalnya datang dari luar. Jika mereka berlaku “kekurangan” kita bisa mengukurnya dengan memakai timbangan keteladanan yang kita tunjukan. Apabila kita sudah menunjukan keteladanan tapi ada yang dengan sengaja melawan, di situlah ketahuan motivasi mereka tidak baik. Tapi sebelum kita mengukur orang lain, kita harus mengukur dahulu tata cara hidup kita. “Itulah pesan yang selalu diingat-ingatkan kepada kita,” ungkap dosen Fakultas Sastra Unsrat itu.
”Esa Nate, Esa Pawayaan, Nitu Engkaketeran. Nate Lenas Nitu en Titimboian I Casuruan. Satu Hati, Satu Tujuan. Untuk mencapai tujuan, kita harus berjalan lurus, seumpama talenta yang menemukan penyalurannya. Bahwa manusia adalah mahluk hidup maka dia harus hidup. Manusia akan menjadi terbaik dengan berpegang di hati yang tulus dan suci. Karena hati bersih dan suci adalah pegangan hidup dari Tuhan. Manusia hidup seumpama biji yang bertunas, lantas bertumbuh kemudian berbuah,” pungkasnya. (***)