Kandouw: Ini Semata-Mata Panggilan Sebagai Tou Minahasa

Dari Forum Baku Dapa Tou Minahasa


Manado, ME

Ruang 'bacirita' tokoh, budayawan, pemerhati dan pegiat budaya Minahasa kembali tercipta. Tou (orang) Minahasa dari wilayah adat Pakasaan Tontemboan, Tombulu, Tolour, Tonsea, Pasan, Ponosakan, Tonsawang, Bantik dan Babontehu, duduk bersama dalam agenda bertajuk ‘Forum Baku Dapa Tou Minahasa’. Berbagai persoalan yang telah, kini dan akan menggempur tanah Malesung, dibedah, didebat dan didialogkan. Sebuah ekspresi dari kerinduan anak keturunan Lumimuut-Toar, untuk menegaskan kembali ‘kanaraman’ (tata cara hidup) dan nilai warisan para leluhur yang mulai tergerus.

“Generasi baru kurang informasi soal Minahasa. Kini kita seolah pendatang di negeri sendiri. Berangkat dari keprihatinan ini, kami dan Ketua DPRD Sulut, coba berinisiatif mendorong forum ini,” kata Fani Lego, pelaksana kegiatan, saat menyambut para undangan di ruang Mapaluse Kantor Gubernur Sulut, Selasa (10/2).

Satu masa kebudayaan tou Minahasa akan menguap. Karena itu usaha serius untuk menggali dan mengangkatnya kembali harus dimulai dari sekarang. “Beruntung, kali ini kita punya Ketua DPRD yang ternyata juga memiliki kesadaran tentang nilai-nilai budaya Minahasa. Saya optimis, forum ini bisa merumuskan frame budaya Minahasa,” tandas anggota DPRD Sulut itu.

Inisiator acara, Ketua DPRD Sulut, Steven Kandouw, mengaku jika kegiatan ini merupakan wujud keprihatinan generasi Minahasa kini terhadap apa yang sedang dialami tanahnya.

“Di Aceh saya lihat ada lebaga adat yang mengatur segala sesuatu di masyarakat, di Papua ada Dewan Adat Papua. Ini memukul saya. Tapi ketika ada inisiatif untuk menggelar kegiatan ini, saya dituduh karena orang politik. Dituduh sebagai partisan. Tapi sungguh, ini semata-mata kepedulian saya, panggilan saya sebagai tou Minahasa,” tutur Kandouw di forum tersebut.

“Budaya kita ada, mungkin tinggal di-rediscover. Sudah ada jadi tinggal ditemukan lagi. Perlu kita temukan lagi indentitas budaya kita. Di salah satu daerah di wilayah Minahasa, deng tari Kawasaran so nimboleh. Mungkin karena so talalu kuat berdoa kemudian menganggap Kawasaran animisme,” sambungnya dengan ekspresi sinis.

Menurut Kandouw, kondisi itu menggelitik dirinya. “Ini tidak bisa dibiarkan lama-lama. Karena berbahaya bagi Sulut dan bagi Minahasa.
Kita juga tidak ada panduan baku yang menentukan mana tu budaya Minahasa dan mana yang tidak. Solusinya duduk bersama,” kata Kandouw berpendapat.

“Harus berkali-kali kita laksanakan kegiatan seperti ini. Saya sudah sampaikan ke Gubernur, beliau tertarik dan kaget juga, kita selama ini lalai tentang hal ini. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.”

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan brainstorming, yang didahului dengan rangsangan yang disampaikan tokoh pemerhati Minahasa, dr Bert Adrian Supit dan Pdt. DR Richard A.D.Siwu MA., Ph.D, teolog, sosiolog, budayawan Minahasa.

Dalam pemaparannya, Supit membangunkan spirit tou Minahasa dengan mengangkat sejumlah tokoh yang dianggap teladan luar biasa bagi tou Minahasa, sejak masa ‘trio legendaris’ Lontoh, Paat, Supit hingga Ds. A.Z.R. Wenas dan G.S.S.J. Ratulangi. Sementara Pdt Siwu, mengulas secara akademis soal wawasan kultural orang Minahasa, disertai sejumlah usulan konkrit yang bisa menjadi agenda bersama ke depan.

“Kebudayaan Minahasa tergerus. Bagaimana generasi sekarang tidak tergerus lagi. Apa yg harus kita buat untuk mengembalikan nilai-nilai keminahasaan yang telah hilang,” ujar Wakil Bupati Minahasa, Ivan Sarundajang.

“Bentuk organisasi yang memayungi semua masyarakat adat, organisasi adat di Minahasa dan itu perlu didanai. Baik lewat APBD maupun donatur yang prihatin. Dorong pelantikan kepala daerah secara adat. Organisasi itu yang nanti mengaturnya,” usul Sarundajang.

Menariknya, selain hadir para tokoh adat dari 9 Pakasaan, para tua-tua seperti Pdt. Prof. DR W.A. Roeroe, P.P. Kepel, Prof. DR A.E. Sinolungan, Prof. A.B.G. Rattu, Drs Fendy Parengkuan MA, Pdt. A.W.Tampemawa, hadir juga dalam kegiatan ini perwakilan pemerintah Provinsi Sulut, Kota Manado dan Kota Bitung.

“Dari beberapa forum serupa yang pernah saya ikuti sejak Kongres Minahasa, hal yang luar biasa kali ini bahwa semakin banyak orang muda dari segi usia yang melibatkan diri dan aktif dengan pemikirannya yang konstruktif. Ada dialog lintas generasi yang sebelumnya bermasalah,” nilai Denni Pinontoan M.Teol, teolog yang juga pegiat di Mawale Cultural Center.

“Kemudian ada peran politisi-politisi. Mereka ikut memberi perhatian padahal selama ini kurang. Dulu, eksekutif ada Gubernur H.V. Worang yang beri perhatian. Sekarang ada legislator muda. Semoga para politisi ini berproses dengan etika politik Minahasa,” kata Pinontoan.

Tokoh muda Minahasa ini juga berharap, selanjutnya masih ada ruang untuk berproses. Apapun yang akan terjadi, harus ada pendalaman. ”Berikut, lebih banyak lagi melibatkan orang Minahasa, baik yang di tanah Minahasa maupun yang di luar. Seperti kata Ketua Dewan, kita belum representasi tou Minahasa,” usul akademisi UKIT itu.

“Kita berharap, forum ini tidak akan digiring ke kepentingan politik dan itu sudah ditegaskan, kita sudah ada keterbukaan,” kuncinya.

Di akhir acara yang digelar seharian tersebut, inisiator melalui Lona Lengkong yang memandu jalannya diskusi, menegaskan akan membentuk kelompok kerja (Pokja) untuk mendalami pokok-pokok pikiran dan gagasan yang mengemuka dalam forum ini. Baik soal tanah, bahasa dan adat istidat. (rikson karundeng)



Sponsors

Sponsors