Nuansa Alam Ranosaut Kokoh di Perlintasan Zaman

Sepenggal Kultur Minahasa Yang Tertinggal


PERADABAN masyarakat Minahasa terus bertransformasi mengawal derasnya perkembangan zaman. Tanpa disadari, kultur budaya yang dulu menjadi simbol perekat kebersamaan, mulai tergilas. Kehangatan ‘dodika’ mulai padam dengan kecanggihan fasilitas teknologi bersumber energi listrik. Pemanfaatan ‘lontang’ terkubur dengan kemewahan peralatan makan mewah berbahan dasar marmer, kaca hingga plastik berteknologi tinggi. Belum lagi, kebersamaan minum ‘saguer’ yang semakin jarang dilakukan ditemani ‘tinutuan’ (bubur manado) hingga ubi dan pisang rebus serta dabu-dabu. Sungguh menarik dijajal.

Tidak menjamin jika diberbagai belahan tanah air bahkan jazirah utara pulau Selebes, masih terdeteksi gaya seperti itu. Suatu pengalaman berharga ketika kita masih merasakan hal istimewa ini. Tou Minahasa mulai 'gengsi' dengan tradisi yang dinilai kuno dan tidak mengikuti perkembangan zaman.

Adalah kawasan kuliner Nuansa Alam Ranosaut Kelurahan Kumelembuay Kecamatan Tomohon Timur. Tempat ini berada diperlintasan strategis ‘segitiga emas’ Kota Tomohon, Kota Manado dan Kabupaten Minahasa. Barangkali, Nuansa Alam Ranosaut merupakan konsep tradisi tua yang masih tertinggal dan terus dikonservasi. Jangan heran jika pengunjung wajib menikmati kehangatan malam dengan panasnya tempurung yang dibakar di dodika. Bukan hanya itu, makan beralaskan daun dan menggunakan lontang menjadi bagian penting dalam perjalanan kuliner ini. Jamuan yang luar biasa. Nasi, ikan mujair yang dibakar ditemani sayur kangkung produksi alam sekitar Nuasa Alam Ranosaut, seakan menghipnotis pengunjung. Saguer (air nira) sepertinya menjadi pamungkas melengkapi jamuan yang disajikan. Tinggal menentukan pilihan, sebab ada juga saguer yang disajikan bercampur buah durian yang diambil dari bagian belakang kebun kawasan Nuasa Alam Ranosaut.

 

DARI SABUAH MENJADI KAWASAN KULINER SKALA INTERNASIONAL

Konsep awal pengembangan tempat ini adalah ‘sabuah’. Dari desain ini, akhirnya menjelma sebagai destinasi wisatawan internasional. Tante Berta Van Der Meer Moningka, sang konseptor Nuansa Alam Ranosaut. Ibu 70 tahun yang bersuamikan Jacob Van Der Meer, pria berkewarganegaraan Belanda, menuturkan, konsep pembagunan Nuansa Alam Ranosaut berawal dari pembangunan sabuah. Dulunya, kata dia, sabuah tersebut hanya akan digunakan keluarga sebagai tempat reuni kumpul.”Ada acara kong tasisa banyak tu bambu. Kita berpikir untuk memanfaatkan bambu tersebut untuk membuat sabuah. Ya, rupanya Tuhan berkeinginan lain. Konsep itu akhir berubah dan saya  akhirnya memutuskan untuk mengembangkan tempat ini sebagai kawasan kuliner tradisional,” ujarnya, belum lama.

Berta yang merupakan anak dari Simson Moningka (Raja Cingkeh dari Suluan), memang terkesan ulet dalam bekerja. Apalagi, keahliannya merambah dunia kuliner dinilai sangat kompeten. Meskipun menurut dia, semua keberhasilan dalam pengembangan kawasan Nuansa Alam Ranosaut, berkat dukungan dari suami tercinta.”Memang untuk usaha seperti ini sempat dikemukakan ayah saya waktu masih muda. Namun, itu belum bisa direalisasikan apalagi setelah saya menikah dengan Jacob. Saya harus tinggal di Belanda sekira puluhan tahun,” terangnya.

 

KONSEP TRADISIONAL YANG TELAH MENDUNIA

Siapa menyangka jika konsep sabuah menjadi sasaran destinasi wisatawan dari berbagai belahan dunia. Owner Nuasa Alam Ranosaut Berta Van Der Meer Moningka, menguraikan, selain wisatawan domestik, terdapat wisatawan dari berbagai negara yang mengagumi Nuansa Alam Ranosaut. Seperti, Australia, Singapura, Cina, Prancis, Cekoslovakian, Amerika Serikat bahkan dari Belanda. Kata dia, dalam beberapa kunjungan mereka puas dengan konsep tradisional yang diusung Nuansa Alam Ranosaut.”Bahkan banyak dari mereka berpesan agar suasana tradisional jangan dihilangkan. Malahan harus terus ditingkatkan,” sebut Berta.

Dalam waktu dekat ini, ungkap Berta, ada puluhan wisatawan dari Prancis yang akan mendatangi tempat itu. Sesuai informasi, mereka akan menginap ditempat ini.”Iya, kita sudah menyiapkan tempat tidur. Tapi jangan salah, mereka tidak tidur di sofa atau kasur empuk, namun akan tidur beralaskan tikar di bagian loteng. Dibawahnya, terdapat dodika yang standby membakar tempurung. Dengan begitu, mereka tidak akan merasakan kedinginan,” urainya.

Namun, jelas Berta, untuk makanan mereka  khusus memesan makanan yang menjadi keistimewan tempat ini.”Kelapa muda yang dibelah dan didalamnya dilepaskan jenis makanan asam manis. Anehkan, tapi itulah ciri khas tempat ini,” ujar Berta yang sempat menjadi tenaga pengajar siswa Indonesia di Singapura.

Selain itu, pola makan tinutuan, umbi dan pisang rebus menggunakan daun pisang, pasti disukai mereka.”Saguer pasti akan kami suguhkan. Tidak akan banyak sebab jangan sampai mereka menjadi mabuk,” cerososnya sambil tersenyum akrab.

 

POTENSI EKONOMI DAN PENGEMBANGAN NUANSA ALAM RANOSAUT

Berada di segitiga emas (Tomohon, Tondano dan Manado), menjadi potensi unggulan kawasan Nuansa Alam Ranosaut. Rehabilitasi jalur Tondano-Kembes-Manado dan Tomohon-Kumelembuay-Suluan, dinilai akan berdampak ekonomis bagi Nuansa Alam Ranosaut.

Rencana pembangunan ini, pun tidak akan disia-siakan Berta Moningka. Dalam waktu dekat ini, kawasan Nuasa Alam Ranosaut yang kaya dengan sumber air bersih, siap dikembangkan menjadi kawasan wisata internasional.Pengembangan wisata, kata Berta, akan dimulai dari rehabilitasi akses masuk di dua air terjun yang mengapit Nuansa Alam Ranosaut.”Kita akan buatkan jalan ke dua air terjun itu. Itu akan menjadi pusat hiking wisatawan yang tinggal di tempat ini. Saya merasakan dengan pengembangan dua kawasan air terjuan ini, akan sangat menambah nuansa keasrian wilayah ini,” sebut Berta.

“Untuk konsep tradisional tetap akan kita pertahankan. Sebab, itulah keunggulan tempat ini,” lugas Berta yang mengaku sudah mengantongi identitas kewarganegaraan Belanda serta menjadi tokoh sentral dibalik pembentukan sejumlah organisasi kawanua di berbagai belahan dunia.(victor rempas)

 



Sponsors

Sponsors