GEBRAKAN SANGGAR TUMONDEI TAK ADA MATINYA!


Oleh: Gloria Sual

(Sebuah catatan singkat sekitar perayaan hari jadi Sanggar Tumondei ke-3 tahun dan desa Tondei raya ke-102 tahun.)

STATUS desa Tondei sebagai ro’ong (kampung) budaya nampaknya akan terus langgeng. Ini ditunjukkan oleh kreatifitas dari masyarakat terutama para terunanya yang tak berhenti. Malah secara kualitas dan kuantitas kian menjadi dan membukit. Hal tersebut terbukti pada 17 Oktober 2015 yang baru lewat. Pada hari Sabtu itu kelompok pemuda pecinta pelestarian budaya yang terhimpun dalam Sanggar Tumondei Minahasa Selatan (STMS) kembali menggelar kegiatan pagelaran budaya di gedung Balai Pertemuan Umum desa Tondei. Kegiatan ini dirangkaikan dengan Hari Jadi STMS ke-3 tahun dan desa Tondei Raya ke-102 tahun. 

Tak hanya masyarakat Tondei yang hadir. Beberapa komunitas pecinta budaya juga hadir. Di antaranya: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), KPAB Lolombulan, Pinaesaan Tontemboan (PITON), Sanggar Seni Tou Pager dari Poigar Minahasa Selatan, Mawale Movement, KPAT dan lain-lain. Dalam perhelatan budaya itu ditampilkan tarian kawasaran dari Tondei dan Poigar, Permainan rakyat “Mareng i Lele” atau “Marantong”, Drama “Tumani” yang berkisah tentang pendirian kampung Tondei, Peluncuran dua buku karya Iswan Sual (kumpulan puisi) dan karya Ferlandi Wongkar (kumpulan puisi dan cerita pendek).

Dalam pidato sambutannya, Billy Ompi, sebagai ketua panitia mengatakan, “Pagelaran budaya ini adalah momen pengingat for torang samua. Mo beking spaya torang nyanda mo lupa torang pe jatidiri sbagai tou Minahasa. Skarang so banya orang lupa kalu dia Tou Minahasa. Terutama tu orang-orang muda. Skarang orang Minahasa so nda berprilaku lagi sbagai tou Minahasa. Adat dorang so lupa. Tu pesan-pesan orang tua: malo’o-lo’oren, matombo-tombolen, ma’siri-sirian, deng laeng-laeng dorang so rupa nyanda pake. Pakeang adat dorang so nintau deng so nda suka pake. Bahasa daerah sandiri dorang nintau. Malahan gengsi kalu dapa tau orang gunung. Dorang bilang so jadul kata. Ini cilaka for torang! Nah, tu kegiatan-kegiatan bagini yang mo beking tu ingatan pa torang pe adat istiadat nyanda mo ilang. Jadi kegiatan ini merupakan ajakkan for torang samua spaya mo ambe bageang for mo jaga bae-bae tu torang pe tradisi - torang pe budaya.”

Secara terpisah, Yanli Sengkey dan Charli Wongkar, yang kini menjabat sebagai Tona’as Wangko (ketua umum) dan Mapatic (sekretaris) Sanggar Tumondei Minahasa Selatan 2015-2018, mengatakan, “Ini kwa so jadi torang pe kegiatan rutin. Neh, tiap taun torang ja beking. Torang pe banya tu kesibukan. Karna torang ada yang mahasiswa, siswa, petani deng laeng-laeng. Mar, torang pe Sanggar berusaha for berkarya. Walaupun tagepe deng banya kesibukan masing-masing. Karna ini demi generasi brikut. Spaya kitiare nanti dorang nda mo tanya ‘Apa jo re’e tu orang-orang tua da beking?, Kyapa torang pe dotu-dotu nda berkarya?, Kyapa torang pe orang-orang tua kasebiar tu budaya Minahasa ilang?’.”

Kehadiran dalam kegiatan ini cukup signifikan. Kurang lebih tiga ratus orang dewasa. Mayoritas yang hadir dari luar desa. Mungkin karena bertepatan juga ada acara besar di kampung: acara pesta kawin dan peletakan batu pertama gedung ibadah. Namun demikian kegiatan tetap terlihat meriah dan bahkan sangat ramai dengan khalayak. Apalagi pada saat makan siang berlangsung. Orang-orang berdiskusi tentang budaya sambil menikmat hidangan khas Minahasa: nasi kaboro, ubi santang, sayor tina’pe, rangsak, ikang kodo dan permainan kalie’ yang diperagakan anak-anak. Tambah lagi disuguhkan juga minuman khas Minahasa, yaitu saguer. Ini mencipta suasana sederhana namun bernilai besar bagi generasi sesudah kita. Karena yang terpenting adalah pewarisan nilai-nilai positif dan bermakna.

Acara ini mendapat sambutan luar biasa dari beberapaakademisi, budayawan dan sastrawan Minahasa di Sulut. Di antaranya yang hadir adalah Fredi Wowor, Rivo Gosal, Denni Pinontoan, Sofyan Yosadi, Pdt. Middle Onibala,Chandra Ro’oroh dan Rikson Karundeng. Dalam pidato kebudayaan mereka, mereka secara bersama mendukung kegiatan yang digelar oleh Sanggar Tumondei. Bahkan mereka menyatakan kekaguman-kekaguman yang menggembirakan dan memberi inspirasi dan motivasi.

“Orang-orang Tondei mungkin nda banya yang tau. Mar, di luar sana, aktifitas ato ajang seni-budaya yang dilakukan oleh kawan-kawan di Tondei, diketahui luas. Kegiatan ini ramai dibicarakan di dunia maya bahkan di diskusi-diskusi para budayawan, seniman, sastra di Tomohon pada beberapa hari lalu. Ini luar biasa. Apalagi ada kegiatan peluncuran buku,” tandas Rikson Karundeng tatkala didaulat oleh panitia pelaksana untuk memberikan pidato sambutan mewakili Media Sulut.Ferlandi Wongkar yang adalah salah satu anggota Sanggar dalam sesi peluncuran buku di acara itu mengatakan, “Kami merasa senang dan bangga. Senang karena Sanggar Tumondei memfasilitasi peluncuran buku saya. Saya merasa bangga karena banyak teman-teman dari komunitas-komunitas lain yang menyaksikan kerja-kerja kebudayaan kami. Ini ja beking tatamba smangat pa torang for mo bakarya trus. Ini beking kita lebe smangat lei mo batulis.”

Setelah acara indoor selesai dilaksanakan seluruh peserta pun bergerak mengarah ke situs budaya Watu Lesung Lutau. Ini juga sudah menjadi tradisi Sanggar Tumondei setiap selesai acara besar digelar. Karena berkunjung ke situs-situs budaya adalah juga bagian dari pemberian pelajaran kepada generasi muda tentang karya-karya para leluhur yang begitu luar biasa. Berziarah ke situs-situs budaya adalah wajib sebagai tou Minahasa. Karena berziarah sama dengan memperpanjang ingatan sejarah Minahasa itu sendiri.

* Penulis adalah siswi SMK Negeri 1 Motoling Barat di Tondei.



Sponsors

Sponsors