Kepala Daerah Kian 'Permisif' Korupsi


Jakarta, ME

Perangai  buruk kepala daerah di Indonesia makin terkuak. Daftar Top eksekutif korup terus membludak.  Merampok uang rakyat seakan telah jadi visi untuk merengkuh tampuk kekuasaan tertinggi. Aturan, etika dan norma agama tak lagi digubris. Top eksekutif yang seyogianya mengayomi masyarakat, malah  menggasak hak masyarakat. Janji politik kala maju di Pemilukada, layaknya sebuah pepesan kosong. Menggeruk uang negara demi kepentingan pribadi, kelompok dan partai sepertinya telah membudaya.

Fakta mencengangkan dibeber  Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI. Data tahun 2004 hingga 2012 menunjukkan ada sebanyak 281 kepala daerah yang terseret kasus hukum. Jumlah itu mengalami peningkatan dari dua pekan lalu, yang menyebutkan ada 271 kepala daerah yang telah menjadi saksi, tersangka, dan terpidana. "Dua minggu lalu sudah ada 277, sekarang bertambah menjadi 281," terang Kapuspen Kemendagri Raydonnyzar Moenoek di Gedung Kemendagri, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (8/11) kemarin.

Doni, demikian Raydonnyzar biasa disapa, menyebutkan dari 281 kepala daerah tersebut sekira 70 persen terlibat korupsi. "(281 kepala daerah)  ada tindak pidana umum, seperti pemalsuan ijazah, ada kasus perzinahan, penyalahgunaan jabatan. Tapi, rata-rata korupsi paling besar," terangnya.

Sayangnya, Doni enggan menyebut siapa saja kepala daerah yang terlibat kasus hukum tersebut. "Kami tidak bisa menyebutkan karena ada nama  partainya," tutupnya

Agustus 2012 lalu, kemendagri telah melansirribuan pejabat daerah yang terlibat kasus korupsi. Setiap lapisan pejabat daerah, mulai dari gubernur, wali kota, bupati, hingga anggota dewan perwakilan daerah terlibat korupsi. “Jika dihitung hingga bawahan kepala daerah, pejabat yang terlibat korupsi bisa mencapai 1500 lebih. Khusus ditingkat kabupaten dan kota, dari total 16.267 kepala  daerah, ada 2553 yang terlibat kasus,” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan kala itu.

Kementerian juga mencatat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang terlibat korupsi. “Di tingkat provinsi, dari total 2008 anggota  DPRD di seluruh Indonesia, setidaknya ada 431 yang terlibat korupsi,” kuncinya.

Sementara rilis yang dikeluarkan Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyatakan Presiden RI, Sosilo Bambang Yudhoyono  telah mengeluarkan 176 izin pemeriksaan terhadap kepala daerah selama periode Oktober 2004 hingga September 2012.

Dari hasil rekapitulasi yang dilakukan Seskab selama delapan tahun, tercatat permohonan pemeriksaan terhadap bupati maupun wali kota mencapai  103 kali dengan persentase mencapai 58,52 persen. Sisanya antara lain Wakil bupati/wali kota sebesar (17,61 persen), anggota MPR/DPR (13,63  persen), gubernur (6,81 persen), wakil gubernur (1,70 persen), anggota DPD (1,13 persen) dan hakim MK (0,56 persen).

Dari sekian pejabat daerah yang diduga terlibat korupsi, kader Partai Golkar paling banyak. Hal itu terlihat dari banyaknya permintaan izin pemeriksaan yang menjerat kader Golkar. Seskab mencatat permohonan pemeriksaan dengan persentase mencapai 36,36 persen. Sisanya PDIP (18,18 persen), Partai Demokrat (11,36 persen), PPP (9,65 persen), PKB (5,11 persen), PAN (3,97 persen), PKS (2,27 persen).

Sementara persetujuan tertulis gubernur atas nama Mendagri untuk pemeriksaan anggota DPRD Kabupaten/Kota mencapai 994 izin untuk memeriksa  2.553 orang. Dari data itu, Partai Golkar masih berada di urutan pertama dengan angka mencapai 146 izin. Sisanya PDIP (74 izin), Partai  Demokrat (63 izin), PPP (39 izin) dan PKB (30 izin).

PEMILUKADA AKAR KORUPSI KEPALA DAERAH

Tingginya jumlah pejabat daerah yang terlibat kasus korupsi merupakan salah satu imbas dari politik berbiaya tinggi.  Sejak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah diberlakukan, biaya politik mendadak melonjak tinggi dibanding masa-masa  sebelumnya. “Kebutuhan dana calon kepala daerah menjadi besar,” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah,  Djohermansyah Djohan.

Karena kebutuhan dana besar, calon-calon kepala daerah mencari uang ke mana-mana. “Munculah cukong yang mau memodali,” katanya. Ketika naik  jabatan, si kepala daerah akhirnya berutang. Karena utang yang besar itu akhirnya marak terjadi kasus korupsi di daerah,” simpulnya.

Senada diungkapkan Wakil Ketua MPR Lukman  Hakim.  Pemilihan kepala daerah secara langsung yang telah berjalan sekitar delapan tahun ternyata banyak melahirkan  pemimpin-pemimpin korup. Sedikitnya 173 kepala daerah, yang dipilih secara langsung dalam pilkada, tersangkut kasus korupsi.

Jumlah ini 37 persen dari total kepala daerah yang dipilih langsung. Ekses negatif dari pilkada langsung adalah kecenderungan munculnya  politik uang sehingga memaksa pemimpin terpilih untuk berusaha mengembalikan "modal" saat menjabat. "Money politic sangat tinggi dan memaksa orang yang terpilih harus mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan," ujar Lukman.

MPR kini tengah mencari formula yang tepat agar pilkada langsung terhindar dari beragam ekses negatif, khususnya politik uang. "Tujuan pemilukada langsung sebenarnya sangat baik agar kedaulatan rakyat dapat terpenuhi. Namun, sistem ini harus menjamin munculnya kepala daerah  yang berkompeten dan memiliki kemampuan untuk untuk mengelola daerah," simpulnya.

KEPALA DAERAH KORUP BISA DIPERIKSA TANPA IZIN PRESIDEN

Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri telah memutuskan kepala daerah yang menjadi tersangka dugaan korupsi bisa langsung diperiksa kejaksaan tanpa perlu izin presiden. Penahanan kepala daerah tetap dengan izin presiden. Tetapi jika 30 hari presiden tidak memberikan jawaban, otomatis kepala daerah langsung bisa ditahan.

Putusan ini menjawab permohonan yang diajukan oleh Teten Masduki, Zaenal Arifin Mochtar dan ICW. "Mengabulkan untuk sebagian," demikian kata  Ketua MK Mahfud MD dalam sidang terbuka untuk umum di gedung MK, Jakarta, 26 Sepetember 2012 lalu.

Dengan dikabulkannya permohonan ini maka penyidik kejaksaan tidak perlu lagi meminta izin presiden apabila ingin menyelidiki dugaan tindak  pidana korupsi. Namun, apabila ingin menahan, maka tetap harus meminta persetujuan presiden. Tetapi jika 30 hari tidak dijawab oleh presiden, maka otomatis penahanan dianggap sah.

"Pasal 36 ayat 3 UU Pemda dimaknai tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah memerlukan persetujuan tertulis dari presiden. Apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan dapat langsung dilakukan," ujar putusan setebal 81 halaman ini.

POLDA SULUT MULAI BIDIK BUPATI/WALIKOTA

Indikasi adanya kepala daerah yang terlibat korupsi sudah mulai dibidik Polda Sulut. Predikat disclaimer yang diperoleh sejumlah kabupaten kota di Sulut dalam pengelolaan APBD 2011, bakal jadi pintu masuk korps baju cokelat untuk membongkar dugaan korupsi dibumi nyiur melambai. Namun tak menutup pemerintah yang mempeoleh opini Wajar Dengan Pengecualian juga akan dibidik.

Malah Polda Sulut, melalui Subdit Tipikor, telah memanggil serta memeriksa sejumlah pejabat teras di beberapa kabupaten kota terkait opini disclaimer yang disematkan BPK tersebut.  Kapolda Sulut Brigjen Pol Dicky Atotoy, melalui Kabid Humas AKBP Denny Adare membenarkan adanya proses pemeriksaan sejumlah pejabat di sejulah kabupaten kota yang mendapat opini disclaimer. “Ya, masih dalam proses pengembangan penyelidikan,” singkatnya.

Diketahui ada sederat kepala daerah di Sulut yang telah divonis bersalah karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Masing masing mantan Walikota Manado, Jimmy Rimba Rogi, Eks Walikota Tomohon, Jefferson Rumajar dan Bupati Talaud, Elly Lasut. Ketiganya merupakan politisi Golkar. (tim me/*)