Novel 'Penistaan Agama' Beredar di Sulut
Tomohon, ME
Nurani umat Nasrani di Sulawesi Utara kans terusik. Novel 'penodaan Kristen', kembali ditemukan di Bumi Nyiur Melambai. Karya tulis yang menyiratkan 'pelecehan' terhadap konsep Trinitas umat Kristiani, dijumpai beredar di Kota Religius Tomohon.
Roman garapan Galang Lutfiyanto, setebal 216 halaman , didapati di SMP Negeri I Kota Tomohon. Tak menutup kemungkinan buku berlabel Tidak Hilang Sebuah Nama (THSN) itu masih terpajang di perpustakaan sekolah di Kabupaten kota se Sulut.
Novel beraroma porno itu secara lantang mempertanyakan konsep Tritunggal, Allah, Anak dan Roh Kudus yang dipercaya sebagai oleh umat Kristiani. Tulisan berbentuk penistaan Agama itu, tertera di halaman 162 dan 163. Di lembaran itu menceritakan seorang tokoh bernama Hendrik yang mempertanyakan tentang kebenaran Trinitas. Malah Hendrik menyatakan pikirannya tentang ketidakbenaran Tritunggal kepada seorang tokoh perempuan bernama Odive.
Munculnya kembali Novel controversial di Kota Bunga tuai tanda tanya besar. Sebab Novel yang terbit tahun 2008 itu sudah ditarik peredaran di seluruh sekolah di Sulut sejak tahun 2011 silam. Filter pemerintah terhadap penyebaran buku yang tidak mendidik itu pun dipertanyakan.
"Sesuai tanggal penerimaan, buku ini diterima tahun lalu (2011,red). Kalau tidak salah sudah ada sekitar sudah ada sekitar 733 siswa meminjam buku ini diperpustakaan,” beber salah satu Guru SMP I Tomohon yang meminta namanya untuk tidak dikorankan. “Kami tidak mengetahui jika novel ini sudah dilarang. Kalau sudah begini, novel ini tidak akan kami pampang di perpustakaan lagi,” timpalnya.
Kepala Bidang Dinas Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kota Tomohon, Max Pondaag ketika dikonfirmasi mengaku tidak mengetahui soal novel tersebut. "Saya belum pernah melihat dan membaca novel tersebut. Tapi kalau memang peredarannya sudah dilarang, tentu akan segera kami tindaklanjuti,” singkatnya.
Ditempat terpisah, Sekretaris Kota Tomohon, DR Arnold Poli saat dimintai keterangannya langsung bereaksi. Ia berjanji akan segera memerintahkan pihak sekolah untuk segera memusnahkan Novel tersebut.
"Kan novel itu telah dilarang. Buku itu bahaya dan tidak boleh berada di perpustakaan sekolah. Kalau dibaca bisa mempengaruhi mental para siswa,” lugas Ketua AGIS Sulut itu.
Tak hanya itu, mantan Asisten I Pemprov Sulut itu juga mengritisi kepekaan guru di SMP 1 Tomohon itu. “Sangat keterlaluan bila pihak sekolah belum tahu novel itu telah dilarang peredarannya. Tapi bisa saja kepala sekolah tak dapat info waktu dilakukan penarikan,” simpulnya.
Pemprov Sulut, melalui Jubir Christian Sumampow juga mengaku belum terlalu banyak mengetahui soal novel THSN tersebut. Namun Ia berjanji untuk menindak lanjutinya. “Kita akan minta diteliti Diknas Sulut. Kalau memang novel itu tak sesuai norma agama, jangan lagi dipergunakan lagi di sekolah,” tukas Kabag Humas Pemprov Sulut itu.
AKADEMISI NILAI MASIH WAJAR
Sikap Pemkot Tomohon terhadap Novel THSN itu, bertolak belakang dengan akademisi dan Teolog di Kota Bunga. Menurut Max Edward Tontey, pendapat dan kritikan penulis di Novel THSN dinilai masih dalam taraf kewajaran. Sorotan penulis dianggap berangkat dari ekspresi keagamaan dan analisis matang untuk menyatakan pandangannya terhadap ajaran trinitas.
“Pada tahapan memberi pemikiran kritis ini, merupakan kebebasan berpendapat dan berpikir. Bagi saya itu masih dalam batasan uang normal,” ujar salah satu dosen di Universitas Kristen Tomohon. “Yang patut dihindari jika pemikiran penulis diwujud nyatakan dalam kegiatan aktif dan reaktif contoh aksi terorisme dan pengrusakan terhadap fungsi ornamen-ornamen kekristenan," sambungnya.
Ia pun menekankan soal aturan kebebasan mengeluarkan pendapat yang jamin oleh negara. “Itu juga kan dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 yang menyatakan setiap warga negara berhak untuk mengeluarkan pendapat,” simpulnya.
Beda persepsi senada datang dari Denni Pinotoan. Salah satu teolog di Tomohon menilai karya sastra dalam novel THSN merupakan bagian dari dinamika kesusastraan. “Apabila perspektif teologi tentang Yesus dan konsep Trinitas dinilai masih memunculkan perbedaan pendapat, maka sudah menjadi tanggung jawab guru untuk memberi pemahaman. Itu tentu tergantung kecerdasan guru untuk memberi penjelasan,” ujarnya.
Ia pun menilai novel THSN khusus menyangkut masalah Trinitas, tak begitu riskan. “Justru membuka wawasan cakrawala pemikiran teologi dalam kekristenan, tapi jika ini dibaca sebagai sebuah karya sastra,” ulasnya.
Denny pun mengecam langkah pemerintah untuk menarik peredaran novel tersebut. “ Usaha-usaha pembredelan terhadap ini sebenarnya berlawanan dengan idealisme ilmu pengetahuan. Novel itu bukanlah buku propaganda yang mengandung sentimen SARA. Harusnya dilakukan langkah praktis dengan mengundang penulis untuk berdiskusi membedah buku tersebut,” simpulnya.
Diketahui peredaran Novel THSN di SMP se Sulut tahun 2011 lalu, sempat menuai reaksi keras dari organisasi gereja di Sulut. Salah satunya dari Pemuda Sinode GMIM. Organisasi pemuda itu sempat melayangkan mosi tidak percaya kepada pemerintah dan mendesak Mendiknas dicopot dari jabatannya.
Mendiknas dianggap bertanggung jawab karena telah melegitimasi novel itu melalui Kepala Perbukuan Nasional, via surat keputusan peredaran buku ke sekolah dasar dan sekolah menengah melalui SK 1715/A.8.2/11/2005 Tahun 2009 tanggal 19 Mei.
Buku tersebut dialokasikan dalam anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) di sekolah-sekolah serta Daftar Isian Perencanaan Anggaran (DIPA) nasional. Setelah dikecam berbagai kalangan, akhirnya Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sulawesi Utara mengeluarkan kebijakan menarik peredaran buku novel fiksi remaja THSN tersebut, dari seluruh sekolah di kabupaten kota se Sulut pada tahun 2011 lalu.(tr-03)