Carbon Cowboy Terendus Incar Ruang Hidup Masyarakat Adat


Jayapura, MX
Usung tema "Karbon di Wilayah Adat, Berkat atau Kutukan", masa depan masyarakat adat dibahas. Polemik karbon di Indonesia dibedah, di Sarasehan Kongres Aliansi Masyarakat Adat (KMAN) VI, Selasa (25/10), di Kayo Pulo, Jayapura. Carbon Cowboy (Pebisnis Carbon, red) diduga incar ruang hidup masyarakat adat.
 
Kebijakan dan implementasi perdagangan karbon di wilayah adat, bagaimana masyarakat adat menyikapi menjadi topik hangat dalam sarasehan ini.
 
Agung Wibowo, Executive Coordinator at Perkumpulan Huma Indonesia mengatakan, jual-beli karbon di masyarakat adat akan memperparah konflik sumber daya alam (SDM) yang berada di wilayah adat. 
 
"Seperti tema sarasehan ini, menurut saya hanya satu berkat untuk masyarakat adat adalah negara ini mengakui dulu wilayah masyarakat adat, tanah, udara dan ruang hidup," kata Wibowo.
 
Sementara itu, Cindy J. Simangunsong, dari Rumah EcoNusa mengatakan, perdagangan karbon menciptakan krisis iklim.
 
"Yang terjadi hari ini, global sedang berbicara secara kencang tentang karbon. Jadi mereka menyebut karbon ini sebagai solusi interen. Sekarang orang-orang menganggap karbon ini sebagai solusi interen," kata Cindy. 
 
"Tapi jangan sampai lupa kita harus sampai kepada solusi utama. Potong semua solusi interennya. Itu tambang, hutan, perkebunan emisinya yang berbasis fosil itu harus nol (0)," sambung Cindy. 
 
Dijelaskannya, data terakhir dari Bank Dunia di tahun 2021, nilai perdagangan karbon 2021 sebesar 84 miliar dolar.
 
"Lalu apa yang terjadi di 84 miliar dolar itu, ada namanya di tahun 80-an sudah ada carbon cowboy. Mereka ini broker yang datang ke perwakilan masyarakat adat. Mereka itu suguhkan kontrak, tapi itu bahasa Inggris. Kalau di Kolombia misalnya, mereka itu dikasih kontrak dalam bahasa Inggris dan kasih bapak tetua mabuk dan tanda tangan. Padahal menyerahkan hak seluruhnya kepada cowboy-cowboy ini, untuk mengambil uang atas karbon merekanya ini," jelasnya.
 
"Ini saya sempat berbicara dari beberapa broker. Yang terjadi misalnya MoUnya berbeda, tapi mereka (tetua adat) tanda tangan itu betul. Saya tanya kepada mereka, berapa yang akan kembali kepada pemerintah atau masyarakat adat. Lalu dia bilang, semua kami masukkan ke dana abadi, lalu 10 persen kami kembalikan ke program atau yang lain. Lalu saya tanya yang 90 persen mau ke mana, mereka tidak menjawabnya. Jadi yang terjadi dari 84 miliar dolar itu paling banyak hanya 30 persen yang kembali kepada masyarakat sebagai pemilik lahan," sambungnya.
 
Ditambahkannya, pebisnis karbon sudah banyak di Indonesia. Yang harus dilakukan adalah masyarakat adat memahami hutan ini bukan hanya karbon. Hutan adalah sumber penghidupan. Yang harus dilakukan adalah menyiapkan draf masyarakat adat dan tidak bisa dihentikan. 
 
"Kita harus menyiapkan masyarakat adat. Yakni pertama, proyeksi hutan dan keanekaragaman. Kedua, kepastian hak atas tanah. Ketiga, harus diatur pemanfaatannya. Yang keempat, adalah masyarakat adat harus disiapkan karena mereka sebagai pemegang atau penerima manfaat utama," tandasnya. (Eka Egeten)
 



Sponsors

Sponsors